
Artikel
Tahun 2025 membawa perubahan besar dalam cara orang berwisata. Kalau dulu traveling identik dengan eksplorasi cepat dan banyak destinasi, kini tren beralih ke arah yang lebih tenang, sadar, dan berkelanjutan.
Konsep eco-travel dan slow tourism sedang naik daun di seluruh dunia — termasuk di Indonesia.
Bukan lagi soal “seberapa jauh kamu pergi”, tapi “seberapa dalam kamu terhubung dengan tempat itu.”
1. Dari Liburan Cepat ke Perjalanan Bermakna
◆ Kelelahan wisata massal
Pandemi dan era digital membuat banyak orang sadar: traveling cepat tanpa makna hanya menambah stres.
Orang kini mulai mencari perjalanan yang memberi ketenangan, bukan sekadar foto estetik di media sosial.
◆ Slow tourism jadi gaya hidup baru
Slow tourism mengajak kita untuk menikmati perjalanan perlahan.
Bukan sekadar mengunjungi banyak tempat, tapi merasakan satu tempat dengan sepenuh hati — ngobrol dengan penduduk lokal, mencicipi masakan rumahan, hingga terlibat dalam kegiatan budaya.
◆ Tren staycation berevolusi
Staycation di 2025 bukan lagi sekadar menginap di hotel bagus, tapi tentang disconnect to reconnect — melepas gadget dan menikmati momen tanpa notifikasi.
2. Eco-Travel: Jalan-Jalan Ramah Alam
◆ Wisata hijau semakin populer
Eco-travel kini jadi tren utama di kalangan traveler muda.
Mereka sadar bahwa pariwisata massal sering membawa dampak buruk bagi alam — dari sampah plastik hingga polusi.
Karena itu, banyak wisatawan beralih ke eco-lodge, green resort, dan paket wisata berkelanjutan yang melibatkan masyarakat lokal.
◆ Destinasi eco di Indonesia
Beberapa destinasi favorit di 2025 antara lain:
-
Labuan Bajo: pengelolaan wisata berbasis konservasi laut.
-
Bali bagian utara: vila-vila bambu dengan energi surya.
-
Sumba dan Flores: eco-farm stay dengan sistem pertanian organik.
◆ Peran traveler dalam keberlanjutan
Traveler modern bukan hanya pengunjung, tapi juga penjaga.
Mereka aktif mendukung program carbon offset, membawa botol minum sendiri, dan menghindari transportasi yang boros energi.
3. Teknologi dan Traveling: Kawan, Bukan Musuh
◆ AI membantu perjalanan lebih efisien
Aplikasi berbasis AI kini mampu membuat itinerary otomatis sesuai gaya hidup pengguna — misalnya: wisata tenang, ramah lingkungan, dan minim jejak karbon.
◆ Virtual reality untuk pra-jelajah
Sebelum terbang ke destinasi, traveler bisa mencoba VR preview untuk mengenal budaya dan lokasi lebih dulu.
Ini membantu mengurangi wisata impulsif dan meningkatkan kesadaran sebelum bepergian.
◆ Digital minimalism dalam perjalanan
Traveler mulai mempraktikkan digital minimalism — mematikan ponsel saat menjelajah, hanya memakai gadget untuk navigasi atau foto penting.
Prinsipnya: nikmati tempat, bukan layar.
4. Komunitas dan Bisnis Pariwisata Baru
◆ Kemunculan komunitas slow traveler
Banyak komunitas lokal mulai mengorganisir slow travel trip, di mana peserta diajak hidup bersama warga desa, belajar budaya, dan tinggal minimal seminggu di satu lokasi.
◆ Bisnis pariwisata berkelanjutan
Startup lokal Indonesia seperti EcoTrip dan GreenStay kini jadi pionir dalam memasarkan paket wisata ramah alam.
Fokusnya bukan pada jumlah turis, tapi dampak positif bagi masyarakat lokal.
◆ Kolaborasi dengan UMKM dan petani lokal
Banyak paket wisata kini melibatkan UMKM setempat, mulai dari homestay, kuliner tradisional, hingga kerajinan tangan.
Dengan begitu, wisata tidak hanya menguntungkan industri besar, tapi juga menumbuhkan ekonomi desa.
5. Tantangan Traveling di 2025
◆ Keseimbangan antara wisata dan konservasi
Masih banyak destinasi yang kewalahan menampung wisatawan meski sudah ada pembatasan.
Karena itu, traveler perlu sadar kapasitas lingkungan dan tidak memaksa eksplorasi berlebihan.
◆ Harga dan aksesibilitas
Wisata ramah lingkungan sering kali lebih mahal karena melibatkan bahan alami dan proses manual.
Namun, makin banyak operator yang berusaha menekan harga agar konsep ini bisa dijangkau semua kalangan.
◆ Edukasi wisatawan
Kunci utama keberhasilan eco-tourism adalah edukasi.
Tanpa kesadaran bersama, konsep hijau hanya jadi label promosi tanpa dampak nyata.
6. Traveling sebagai Terapi Mental
◆ Wisata perlahan untuk kesehatan jiwa
Banyak psikolog kini merekomendasikan traveling sebagai bagian dari self-healing — bukan pelarian, tapi proses refleksi diri.
◆ Alam sebagai tempat pulang
Gunung, laut, dan desa kini dipandang bukan sekadar destinasi, tapi ruang penyembuhan.
Melihat matahari terbit, berjalan di hutan, atau berinteraksi dengan hewan liar bisa memberi efek terapi alami.
◆ Tren wellness travel meningkat
Resor yang menawarkan yoga, meditasi, dan spa alami kini jadi favorit wisatawan 2025.
Bali, Lombok, dan Yogyakarta jadi tiga kota dengan pertumbuhan wellness travel tertinggi di Asia Tenggara.
Penutup
◆ Traveling yang menyentuh, bukan sekadar berpindah
Tren traveling 2025 mengajarkan bahwa perjalanan bukan tentang jarak, tapi tentang kedalaman pengalaman.
Yang paling berkesan bukan pemandangan yang dilihat, tapi ketenangan yang dirasakan.
◆ Pesan untuk traveler masa depan
Jelajahilah dunia dengan rasa syukur, bukan sekadar kamera. Karena bumi bukan tempat untuk ditaklukkan, tapi untuk dihargai.
Referensi
-
“Slow Travel Movement.” National Geographic.